Aku tidak pernah berhenti bersyukur kepada Allah SWT, yang telah mempertemukan aku padanya. Ya...dia, sang pengisi hati dan pikiranku. Dia yang selalu membuatku tertawa. Dia yang membuat aku gila saat tak melihatnya. Dia yang membuat aku menangis saat dia berdampingan dengan perempuan lain. Dan dia yang melengkapi hariku.
Entah sudah berapa juta kali aku menampik perasaan yang tumbuh liar dihati ini, entah sudah berapa juta kali aku meyakinkan diri ini bahwa dia bukan satu-satunya lelaki yang bisa membahagiakan aku. Tetap saja, rasa itu tak pernah sirna. Justru semakin menyala dan membabi buta.
Aku bertemu dengannya setahun yang lalu, saat kami semua menempati kelas tahun ajaran baru. Jiwa ini bergetar lantaran tatapan matanya menghujam sampai kemanik jiwa. Hati ini tidak berhenti mendetangkan lonceng pertanda jatuh hati. Ya...aku jatuh cinta dengannya pada pandangan pertama.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku memberanikan diri bercerita pada temanku. Dia mengatakan, "Kenapa tidak coba saja mengutarakan perasaanmu padanya? Barangkali, dia mempunyai rasa yang sama denganmu." Aku hanya bisa menggeleng pasrah, "Tidak semudah itu, temanku." Aku menarik napas kemudian menghembuskannya, "Aku jatuh cinta padanya memang semudah membalikkan telapak tangan, namun untuk menyatakannya bagai mencari jarum diantara tumpukan beras."
Teman seusiaku memang rata-rata sudah memiliki kekasih, bahkan mereka mempunyai dua. Ya, yang biasa mereka katakan selingkuh. Semudah itukah selingkuh? Batinku bertanya-tanya. Memangnya, ada sensasi apa yang mereka rasakan disaat selingkuh? Apakah selingkuh itu merupakan suatu kebanggaan?
Pernah juga suatu kali aku bercerita pada teman dekatnya, Aji. "Entahlah Ji, aku menyukainya sejak setahun yang lalu. Entah apa juga yang membuat dia begitu menarik. Pokoknya, kurang-lebihnya dia akan kuterima, InsyaAllah. Tapi, apakah dia bisa menerima aku seperti aku menerimanya?"
Aji menggelengkan kepalanya, "Jangan bertanya seperti itu padaku, Mir. Aku hanya bisa menjadi pendengarmu, aku tidak bisa menjadi perantara hubungan kalian. Baiknya, kamu saja yang mengatakan tentang perasaanmu itu."
Aku benci kalimat itu. Aku harus mengatakan perasaanku sendiri padanya? Mengatakan tentang perihal aku jatuh cinta dengan temanku saja, sudah membuat diriku seperti perempuan jalang. Mau ditaruh dimana muka ini? Jujur saja, aku masih sangat menghargai Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita, tokoh yang mengangkat harkat dan martabat wanita. Jika aku menyatakan perasaanku padanya mungkin sama saja aku merusak sendiri apa yang telah aku percayai. Apalagi kalau dia sampai menganggap aku serendah-rendahnya wanita dimuka bumi. Betapa malunya aku.
Hingga saat ini, sudah dua tahun rasanya berlalu. Aku, Mira, si pengecut yang hanya bisa berlindung dibelakang punggung masih menyukainya. Rasa cinta itu tak akan pernah sirna. Bahkan aku sudah melihatnya beberapa kali berganti kekasih. Dia memang keren, berbeda dari yang lainnya.
Tak pernah setitik rasa berani yang muncul untuk mengungkapkannya. Duduk disampingnya saja aku gemetar!
Dia, mungkin hanya sepenggal cerita menarik dalam hidupku yang takkan pernah terlupakan. Dia, merupakan kilasan masa laluku yang paling indah. Biarlah, cerita cinta ini mengendap dan menjadi batu lapuk disudut hati yang paling dalam. Biarlah, cerita cinta ini menjadi cerita tak sampai yang pernah ada.
Entah sudah berapa juta kali aku menampik perasaan yang tumbuh liar dihati ini, entah sudah berapa juta kali aku meyakinkan diri ini bahwa dia bukan satu-satunya lelaki yang bisa membahagiakan aku. Tetap saja, rasa itu tak pernah sirna. Justru semakin menyala dan membabi buta.
Aku bertemu dengannya setahun yang lalu, saat kami semua menempati kelas tahun ajaran baru. Jiwa ini bergetar lantaran tatapan matanya menghujam sampai kemanik jiwa. Hati ini tidak berhenti mendetangkan lonceng pertanda jatuh hati. Ya...aku jatuh cinta dengannya pada pandangan pertama.
Seiring dengan berjalannya waktu, aku memberanikan diri bercerita pada temanku. Dia mengatakan, "Kenapa tidak coba saja mengutarakan perasaanmu padanya? Barangkali, dia mempunyai rasa yang sama denganmu." Aku hanya bisa menggeleng pasrah, "Tidak semudah itu, temanku." Aku menarik napas kemudian menghembuskannya, "Aku jatuh cinta padanya memang semudah membalikkan telapak tangan, namun untuk menyatakannya bagai mencari jarum diantara tumpukan beras."
Teman seusiaku memang rata-rata sudah memiliki kekasih, bahkan mereka mempunyai dua. Ya, yang biasa mereka katakan selingkuh. Semudah itukah selingkuh? Batinku bertanya-tanya. Memangnya, ada sensasi apa yang mereka rasakan disaat selingkuh? Apakah selingkuh itu merupakan suatu kebanggaan?
Pernah juga suatu kali aku bercerita pada teman dekatnya, Aji. "Entahlah Ji, aku menyukainya sejak setahun yang lalu. Entah apa juga yang membuat dia begitu menarik. Pokoknya, kurang-lebihnya dia akan kuterima, InsyaAllah. Tapi, apakah dia bisa menerima aku seperti aku menerimanya?"
Aji menggelengkan kepalanya, "Jangan bertanya seperti itu padaku, Mir. Aku hanya bisa menjadi pendengarmu, aku tidak bisa menjadi perantara hubungan kalian. Baiknya, kamu saja yang mengatakan tentang perasaanmu itu."
Aku benci kalimat itu. Aku harus mengatakan perasaanku sendiri padanya? Mengatakan tentang perihal aku jatuh cinta dengan temanku saja, sudah membuat diriku seperti perempuan jalang. Mau ditaruh dimana muka ini? Jujur saja, aku masih sangat menghargai Kartini sebagai pelopor emansipasi wanita, tokoh yang mengangkat harkat dan martabat wanita. Jika aku menyatakan perasaanku padanya mungkin sama saja aku merusak sendiri apa yang telah aku percayai. Apalagi kalau dia sampai menganggap aku serendah-rendahnya wanita dimuka bumi. Betapa malunya aku.
Hingga saat ini, sudah dua tahun rasanya berlalu. Aku, Mira, si pengecut yang hanya bisa berlindung dibelakang punggung masih menyukainya. Rasa cinta itu tak akan pernah sirna. Bahkan aku sudah melihatnya beberapa kali berganti kekasih. Dia memang keren, berbeda dari yang lainnya.
Tak pernah setitik rasa berani yang muncul untuk mengungkapkannya. Duduk disampingnya saja aku gemetar!
Dia, mungkin hanya sepenggal cerita menarik dalam hidupku yang takkan pernah terlupakan. Dia, merupakan kilasan masa laluku yang paling indah. Biarlah, cerita cinta ini mengendap dan menjadi batu lapuk disudut hati yang paling dalam. Biarlah, cerita cinta ini menjadi cerita tak sampai yang pernah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar